UNTAG Surabaya

UNTAG Surabaya

UNTAG Surabaya

UNTAG Surabaya

Rabu, 15 April 2015

Posted by Unknown On 21.45
MEMULAI BERWIRAUSAHA
A. Pengantar
Yang sering dikeluhkan oleh para mahasiswa ketika akan memulai berwirausaha, harus memulai dari mana? Selain itu, sering kali mahasiswa bahkan masyarakat umum, dijangkiti penyakit ‘jangan-jangan’ seperti ‘jangan-jangan saya rugi’, ‘jangan-jangan tidak laku’ ketika akan memulai sebuah usaha. Selain itu, muncul keraguan ‘waduh saingannya banyak’, bagaimana mungkin saya dapat memenangkan persaingan? Berikut ini akan disajikan langkah-langkah dalam memulai sebuah usaha berdasarkan kerangka teoritik modul kuliah 3, 4, 5, 7, dan 8.

B. Langkah-langkah memulai berwirausaha
1. Mengenali peluang usaha
Dalam modul kuliah 3 mengenai peluang usaha dinyatakan bahwa peluang sebenarnya ada di sekeliling kita, hanya saja ada beberapa individu yang mampu melihat situasi sebagai peluang ada yang tidak. Hal ini disebabkan faktor informasi yang dimilikinya Informasi memungkinkan seseorang mengetahui bahwa peluang ada sat orang lain tidak menghiraukan situasi tersebut. Akses terhadap informasi dipengaruhi oleh pengalaman hidup dan hubungan sosial (Shane, 2003).
  •  Pengalaman hidup. Pengalaman hidup memberikan akses yang lebih mengenai informasi dan pengetahun mengenai penemuan peluang. Dua aspek dari pengalaman hidup yang meningkatkan kemungkinan seseorang menemukan peluang yaitu fungsi kerja dan variasi kerja.
  • Hubungan sosial. Sebuah langkah penting dimana seseorang mendapatkan informasi dari interaksi dengan orang lain. Beberapa ahli menyarankan ketika seorang takut berwirausaha secara sendirian, maka mengawali usaha secara kelompok adalah alternative. Oleh karenanya, kualitas dan kuantitas dalam interaksi sosial akan lebih memungkinkan individu akan membuat kelompok dalam berwirausaha. Informasi yang penting ketika akan memulai usaha adalah informasi mengenai lokasi, potensi pasar, sumber modal, pekerja, dan cara pengorganisasiannya. Kombinasi antara jaringan yang luas dan kenekaragaman latar belakang akan mempermudah mendapatkan informasi tersebut. Beberapa sumber peluang usaha antara lain:

    1. Perubahan teknologi
    2. Perubahan kebijakan dan politik
    3. Perubahan sosial demografi


2. Optimalisasi Potensi diri
Setelah mengenai peluang usaha maka harus dikombinasikan dengan potensi diri. Keunggulan kompetitif apa yang saya miliki? Yang sering terjadi di masyarakat kita adalah memilih usaha yang sedang trend saat itu. Hal ini sah-sah saja tetapi ketika dalam proses perkembangan tidak membuat inovasi, maka akan sulit bersaing. Counter HP di Yogyakarta merupakan bisnis yang menjamur dalam 3-4 tahun ini. Jika mereka tidak mempunyai keunggulan kompetitif misalnya layanan purna jual, harga yang bersaing, ataukah layanan secara umum baik, maka sulit akan berkembang. Seseorang datang ke sebuah toko untuk membeli HP, sebagian besar karena informasi yang telah didapatkan sebelumnya apakah dari mulut ke mulut ataukah dari koran. Hal ini sangat berbeda dengan ahli terapis untuk anak autis.

Kenyataan menunjukkan penderita autis meningkat di masyarakat, sementara layanan atau terapis autis belum terlalu banyak. Keahlian khusus yang ‘langka’ akan dicari orang tanpa mempertimbangkan aspek lokasi usaha Usaha jasa berbasis pengetahuan (knowledge intensive service) merupakan satu alternatif usaha yang memiliki keunggulan kompetitif. Biasanya mereka mendirikan usaha misalnya konsultan keuangan, konsultan manajemen, konsultan enjinering karena kemampuan pengetahuan yang dimilikinya.

Oleh karenanya, model usaha ini yang seharusnya dikembangkan dalam kewiarausahaan di Perguruan Tinggi. Mahasiswa didorong untuk melakukan riset sesuai dengan bidang ilmunya untuk memiliki pengetahuan baru dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Selain potensi diri dalam arti pengetahuan yang kita miliki, maka masih perlu mengoptimalkan aspek motivasi dan kepribadian. Dalam modul kuliah 5 kharakteristik kewirausahaan dari perspektif Psikologi maka dapat diperoleh gambaran ada beberapa kaharakteristik yang mendorong kesuksesan usaha dan yang tidak. Oleh karenanya, sejauh mana potensi psikologis anda mampu dioptimalkan dalam memulai sebuah usaha?

3. Fokus dalam bidang usaha
Peter Drucker pakar dalam kewirausahaan menyatakan bahwa dalam dalam memulai sebuah usaha atau inovasi dilakukan disarankan untuk terfokus –dimulai dari yang kecil berdasarkan sumberdaya yang kita miliki. Vidi catering di Yogyakarta adalah salah satu contoh dimana pendirinya berlatar belakang sarjana teknologi pertanian, jurusan pengolahan makanan. Memulai usaha rantangan untuk anak kost karena tinggal di sekitar kampus, kemudian karena basic knowledge di bidang pengolahan makanan, kemudian berkembang menjadi catering, hotel, dan sekarang ini gedung pertemuan dan paket pernikahan (event organizer).

4. Berani memulai.
Dunia kewirausahaan adalah dunia ketidakpastian sementara informasi yang dimiliki oleh yang akan memulai usaha sedikit. Oleh karenanya, ‘sedikit agak gila’ (overconfidence) dan berani mengambil resiko adalah sangat perlu dilakukan. Lakukan dulu. Jalan dulu. Jika ada kesulitan, baru dicari jelan keluarnya.

Kasus dari Kompas Minggu, Mei 2005

DEWI PROVITA RINI
Sejak Menikah, Dewi Provita Rini (35) sudah memutuskan tidak bekerja di kantor. Dia ingin selalu berada di rumah agar bisa menjadi guru dan pendamping bagi anak-anaknya. Bagi dia, seorang anak harus didampingi langsung orang tua dan tidak bisa pengasuhan anak diserahkan kepada pembantu atau pengasuh anak. Namun Dewi, produsen permainan anak-anak dari kayu, bukanlah orang yang bisa diam di rumah. Sambil menunggu anaknya, dia mencoba berbisnis dengan menjual barang-barang secara kredit kepada para tetangga dan kenalan. Dewi juga pernah menjadi pemasok bahanbahan untuk sebuah perusahaan catering.

“Tetapi saya tidak tahan menjadi pemasok untuk catering. Sewaktu-waktu saya bisa di telepon untuk minta dikirim barang. Pernah satu kali mereka minta dikirimi telur. Ternyata telur di peternakan tidak cukup sehingga saya harus menunggu ayam bertelur dulu. Sejak itu saya stres jika mendengar telepon berdering, takut ada pesanan mendadak. Akhirnya saya berhenti menjadi pemasok setelah enam bulan berjalan,” cerita Dewi, yang juga pernah bekerja sebagai asisten dosen ketika masih lajang. Berhenti menjadi pemasok, Dewi tergerak untuk berjualan. Namun apa yang dijual, Dewi belum tahu. Sampai pada awal tahun 2002, ketika dia membaca iklan di surat kabar tentang pameran pendidikan, dia tertarik ikut.
“Ada teman saya yang membuat mainan anak dari kayu. Dia bersedia meminjamkan barang-barang itu untuk saya jual. Jadi, barang-barang yang tidak laku boleh dikembalikan ke dia. Saya cuma bermodalkan uang Rp. 500.000 untuk sewa tempat,” cerita ibu dua putri ini. Ternyata semua barang yang dipinjam Dewi dari temannya itu habis terjual. “Mungkin karena barang yang dijual sesuai dengan tema pameran. Mainan anak-anak dari kayu semuanya mempunyai nilai pendidikan. Yakni untuk melatih otak maupun motorik halus. Pengunjung yang datang sebagian besar guru, pendidik dan orang tua sehingga mainan saya laku, “ kenang dia.

Sukses dalam menjual mainan anak-anak membuat Dewi terketuk terjun ke dunia bisnis itu. Padahal selama ini dia merasa sulit menemukan bidang bisnis yang cocok buat dia. “Orang tua saya pernah menawarkan modal untuk bisnis, tetapi saya tolak karena tidak tahu akan berbisnis apa. Setelah saya menemukan bisnis mainan anak ini, sekarang saya justru mencari-cari modal,” ungkap Dewi sambil tertawa. Dewi lalu mulai mempelajari pembuatan mainan kayu itu. Kebetulan di rumahnya yang terletak di bilangan Pondok bambu, Jakarta Timur banyak perajin kayu. “Saya minta ke perajin kayu itu, bisa tidak membuat mainan seperti ini. Lalu untuk penawaran, saya menggambar sendiri atau saya sablon. Kebetulan saya juga mempunyai tukang sablon karena suami saya punya usaha sablom,” ujar Dewi yang memegang ijazah sarjana akuntansi dari Universitas Trisakti ini. Membuat mainan dari kayu bukan berarti Dewi mematikan usaha kawannya yang meminjamkan barang.
“Dia sudah merasa jenuh bekerja di bidang itu, dan ingin berhenti. Barangbarang yang dipinjamkan ke saya adalah barang-barang sisa. Jadi saya tidak mematikan usaha dia, “ kata Dewi menjelaskan. Setelah memutuskan terjun ke bisnis mainan anak, Dewi mulai belajar lagi. Dia membuka internet dan mencari berbagai topik seputar pendidikan. Di sana banyak tersedia contoh mainan yang mempunyai unsur pendidikan dan terapi untuk anak. “Sudah saya tetapkan, saya hanya menjual mainan yang mempunyai nilai edukasi. Makanya, saya tidak membuat dan menjual mainan robot, mobil dengan radio kontrol, pedangpedangan, juga pistol-pistolan,” ujar dia menegaskan. Mainan edukasi itu juga diusahakan agar tidak berbahaya bagi anak-anak.

Contohnya, setiap benda persegi dibuat tidak memiliki sudut, tetapi agak melingkar. Kayu yang dipakai adalah serbuk kayu yang dipadatkan. “Selain ringan, kayu ini juga mempunyai warna yang cerah sehingga menarik,” kata Dewi. Selain itu Dewi juga rajin datang ke seminar-seminar yang berkaitan dengan pendidikan atau kesehatan. Dia juga membaca buku psikologi pendidikan dan psikologi anak. Dia juga rajin berdiskusi dengan konsumen – yang kebanyakan pendidik – untuk mendapatkan informasi mainan seperti apa yang dibutuhkan.

“Setelah mendapat gambaran, baru suami saya mencoba membuat contoh barangnya. Dia insinyur teknik sipil sehingga bisa mengukur dan memotong,” kata istri M. Arif ini.Contoh barang itu kemudian dibawa ke tukang untuk dibuat dalam jumlah banyak. “saat ini saya tidak lagi memakai tukang di sekitar rumah. Saya sekarang mempunyai dua tukang tetap di daerah Cianjur, jawa barat. Ongkos produktif lebih murah disana, “ ujar Dewi. Setelah dibuat dan dihaluskan, barang dibawa ke rumah Dewi untuk di beri warna dan dikemas. Di rumahnya, Dewi dibantu lima karyawan untuk melakukan semua pekerjaan itu, termasuk menjaga pameran.

Hingga kini pemasaran yang dilakukan Dewi hanyalah lewat pameran. Menurutnya, untuk memenuhi permintaan pameran saja, dia sudah agak kewalahan. “Sedikitnya setiap bulan satu kali saya berpameran. Untuk pamerannya sih tidak berat, tetapi setelah itu, pemesanan pasti membeludak,” ujar Dewi menjelaskan. Pernah suatu kali dia menerima pesanan dari Angkatan Udara untuk memasok mainan ke seluruh taman kanak-kanak milik Angkatan Udara. Jumlahnya hingga ribuan. Pelanggannya memang sebagian besar adalah sekolah dan lembaga-lembaga lain yang berkaitan dengan pendidikan. “Saya juga sering mendapat pesanan dari majalah anak. Mereka memesan untuk hadiah bagi pembacanya, ujar dia.Menurut Dewi, ketekunan mengikuti pameran merupakan kunci sukses bisnisnya. Dewi mengakui tidak semua pameran yang diikutinya mendatangkan keuntungan. Ada juga pameran-pameran yang justru membuatnya merugi.

Namun Dewi tidak melihat satu per satu pameran, tetapi keseluruhannya dalam satu tahun. “Kalau satu tahun, kita akan melihat mengikuti pameran itu mendatangkan keuntungan, terutama pemesanan setelah pameran selesai,” kata dia. Untuk memperbanyak macam barang, Dewi juga membeli mainan pendidikan dari Cina. Semua mainan yang dibeli juga harus mempunyai nilai edukasi. Namun, yang dibeli hanyalah mainan yang terbuat dari plastik.

“Kalau bahan bakunya kayu, produk kita masih bisa bersaing dalam harga. “Tetapi kalu dari plastik, produk China lebih unggul,” kata Dewi. Pemasaran yang bisa dibilang cukup sukses itu tanpa disadari membuat usaha Dewi semakin besar. Sekarang dia sudah dipercaya oleh pemasok bahan baku sehingga untuk belanja bisa memakai giro. Dia menaksir, barang-barang yang ada di tempat penyimpanan saat ini bernilai 100 juta. Ini belum termasuk barang-barang yang dia titipkan di beberapa pusat terapi anak. “Tanpa terasa modal yang hanya Rp. 500.000 itu sekarang sudah menjadi Rp. 100 juta. Modalnya hanya ketekunan dan tidak takut rugi.” tutur Dewi.

Sumber : http://septianludy.blogspot.com/2014/11/memulai-berwirausaha.html

Rabu, 08 April 2015

Posted by Unknown On 07.20
Pengembangan kewirausahaan sekolah merupakan trend baru yang mendukung pengembangan satuan pendidikan di berbagai tingkatan. Hal ini didasarkan pada realitas bahwa semangat dan jiwa wirausaha tidak hanya dimiliki oleh pengusaha tetapi juga semua orang yang – minimal – mampu berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk meningkatkan nilai tambah (manfaat) dari hasil usahanya. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mensosialisasikan Keputusan Mendiknas Nomor 13 Tahun 2007 tentang Kompetensi Kepala Sekolah khususnya dimensi kompetensi kewirausahaan. Hasil yang diharapkan adalah adanya upaya aktualisasi jiwa dan semangat kewirausahaan dalam sikap dan perilaku kepala sekolah bersama warga sekolah. Dengan demikian, berkembang good practice kewirausahaan sekolah dan tata kelola sekolah yang baik (good school governance) bernuansa kewirausahaan.

Pendahuluan
Perubahan yang terjadi secara multidimensional dalam dunia pendidikan mensyaratkan kemampuan kepala sekolah yang handal untuk menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal. Pengetahuan dan keterampilan yang pernah diserap kepala sekolah ketika mengikuti pendidikan dan latihan seringkali dianggap terbatas dan kurang sesuai dengan tuntutan persyaratan pekerjaannya saat ini. Oleh karena itu, calon/kepala sekolah perlu selalu melakukan pembelajaran agar dapat mengikuti dinamika perkembangan IPTEKS dan dunia pendidikan, serta peraturan yang dibuat oleh pemerintah.
Beberapa peraturan seperti PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Kepmen Nomor 162 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah, dan PP Nomor 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan pasal 20 ayat (4) pada intinya menyebutkan bahwa tenaga kependidikan yang akan ditugaskan untuk bekerja mengelola satuan pendidikan dipersiapkan melalui pendidikan khusus. Meskipun di dalam PP tersebut tidak disebutkan tentang pendidikan khusus kewirausahaan bagi calon/kepala sekolah, namun di sini ada komitmen kuat dari pemerintah untuk mempersiapkan, secara khusus, pendidikan dan latihan bagi pengelola satuan pendidikan. Pendidikan khusus yang bermuatan kewirausahaan bagi para calon/kepala sekolah diperlukan agar nantinya mereka dapat lebih kreatif dan inovatif memanfaatkan sumber daya dan aset yang dimiliki dalam mengembangkan jiwa kewirausahaan warga sekolah yang dipimpinnya.
Kelemahan manajemen kewirausahaan lembaga pendidikan kita saat ini sebagian besar disebabkan oleh ketidakmampuan pengelola menjalankan fungsinya secara profesional. Efek lanjutan dari kelemahan sistem manajemen kewirausahaan yang berkepanjangan adalah semakin tertinggalnya kemajuan pendidikan kewirausahaan dilihat dari sudut kemajuan di sektor ekonomi, industri dan perdagangan. Sentuhan kreativitas dan inovasi dalam berbagai bidang pendidikan kewirausahaan seperti kurikulum, sarana dan prasarana, pola pendidikan kepada anak didik, dan sebagainya tidak akan banyak manfaatnya tanpa kemampuan wirausaha yang memadai dari para pengelolanya.
Pengembangan kewirausahaan berbasis kreativitas dan inovasi ini bertujuan untuk membekali calon/kepala sekolah dengan wawasan kewirausahaan dalam menjalankan tugasnya, khususnya dalam mempersiapkan “sekolah mandiri” yang menjadi roh dari otonomi sekolah. Oleh karena itu, pemahaman komprehensif dan aplikatif tentang kompetensi kewirausahaan sangat penting diberikan bagi peserta dalam pelatihan calon/kepala sekolah. Pada akhirnya, diharapkan supaya perumusan dan implementasi kebijakan atau keputusan kepala sekolah dapat dikembangkan secara kreatif dan inovatif untuk mendukung penanaman jiwa kewirausahaan bagi semua warga sekolah.

Kajian Teori dan Bahasan
Hakikat Kreativitas dan Inovasi
Kreativitas merupakan salah satu aset organisasi yang terbesar di tempat kerja, misi setiap kegiatan dan pusat keberhasilan organisasi (Kilby, 2001). Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kreativitas merupakan esensi dan orientasi pengembangan sumber daya manusia (Dharma dan Akib, 2004b). Kreativitas dapat mencirikan perkembangan dan keunggulan daya saing organisasi (Ford dan Gioia, 2000). Kreativitas merupakan ramuan dalam pelayanan publik, pengembangan produk dan strategi serta berbagai proses dan perilaku yang lebih baik, unik, baru, asli, berbeda atau bermanfaat. Kreativitas mendasari semua praktik organisasi tanpa memandang rutinitasnya (DeGraff, 2003). Kreativitas terlihat melalui gagasan, produk, pelayanan, usaha, mode atau model baru yang dihasilkan dan perilaku yang diperankan oleh individu, kelompok dan organisasi. Tujuan akhir pengembangan kreativitas dalam organisasi ialah menciptakan berbagai bentuk nilai (manfaat), termasuk pertumbuhan, produktivitas, efektivitas, efisiensi dan inovasi. Sejumlah pakar sepakat bahwa kreativitas merupakan salah satu dimensi pengukuran kinerja organisasi selain efisiensi, efektivitas dan kepuasan kerja (Kasim, 1998; Scott dalam Eoh, 2001; French et al, 2000). Kreativitas bersifat alamiah, dapat dikembangkan dan berlangsung seumur hidup (Kilby, 2001; Akib, 2005).
Pada mulanya, kreativitas hanya dipahami sebagai proses berpikir dengan menggunakan teknik berpikir kreatif (Ivanyi dan Hoffer, 1999). Kreativitas diartikan sebagai proses menggunakan imajinasi dan keahlian untuk melahirkan gagasan baru, asli, unik, berbeda atau bermanfaat (Couger, 1996; Linberg, 1998; Oldham dan Cummings, 1996). Saat ini, kreativitas juga dipahami sebagai kemampuan melahirkan, mengubah dan mengembangkan gagasan, proses, produk, mode, model dan pelayanan serta perilaku tertentu. Dalam definisi kreativitas terkandung ciri keaslian (baru, tidak lazim, tidak terduga) dan potensi utilitas (berguna, baik, adaptif, sesuai) gagasan, produk, mode atau model dan proses yang dihasilkan serta perilaku yang diperankan oleh aktornya. Ciri kreativitas dideskripsikan dalam pendekatan atau model 4-P Kreativitas, yakni Produk, Proses, Person (perilaku individu dan kelompok) dan Pers (lingkungan) kreatif (Bostrom dan Nagasundaram, 1998; Barlow, 2000; Henry, 1991).
Fokus tulisan ini diarahkan pada person atau perilaku individu dan kelompok kreatif dalam menciptakan produk, proses dan pers atau lingkungan kreatif. State of the science kreativitas (Anderson et al, 2003) termasuk ke dalam bidang studi manajemen sumber daya manusia (Dharma dan Akib, 2004b; Timpe, 2000) dan perilaku organisasi (Szilagyi Jr dan Wallace Jr, 1990; Robbins, et.al. 1994) yang dikaji pada tingkat individu, kelompok dan organisasi. Perspektif tersebut diakui oleh Boon (1997) bahwa fenomena kreativitas dan proses kreatif merupakan objek kajian yang sangat luas, namun sedikit sekali hasil penelitian ilmiah dalam areal transfer konsep kreativitas ke dalam perilaku organisasi, sementara kreativitas dan proses kreatif sangat krusial bagi pengembangan individu, tim, organisasi dan masyarakat.
Dalam konteks persekolahan, seorang (calon) kepala sekolah tidak cukup hanya memiliki kreativitas yang tinggi, melainkan juga harus memiliki kemampuan dan kemauan untuk melaksanakannya. Untuk melaksanakan ide-ide baru tersebut diperlukan kemampuan inovatif yang merupakan konsep pembaharuan baik sistem, prosedur dan cara maupun aturan untuk menghasilkan produk, proses, perilaku dan lingkungan kreatif yang optimal. Seorang kepala sekolah yang inovatif harus mampu melahirkan cara baru untuk “menerapkan” ide kreatifnya sehingga berdaya guna dan berhasil guna bagi lembaganya. Dalam implementasi praktis kreativitas dapat dilakukan mulai dari lingkungan (kecil) di dalam kelas sampai pada manajemen sekolah yang lebih kompleks.
Berdasarkan pemahaman konsep kreativitas tersebut inovasi dipahami sebagai proses penerapan kreativitas secara faktual ke dalam kehidupan sehari-hari. Inovasi merupakan proses pengenalan cara baru dan lebih baik dalam mengerjakan berbagai hal dalam lembaga pendidikan (sekolah). Dengan definisi yang lebih kompleks, inovasi merupakan pengenalan dan penerapan ide, proses, produk atau prosedur baru secara sengaja dalam suatu pekerjaan, tim kerja atau organisasi pendidikan dengan tujuan mendapatkan hasil yang lebih baik dan menguntungkan bagi tim kerja atau lembaga tersebut.
Ada hubungan erat antara konsep kreativitas dan inovasi yang keduanya sangat diperlukan dalam mengembangkan sekolah. Kreativitas tanpa inovasi bagaikan pisau tajam yang tidak pernah dipakai, sedangkan inovasi tanpa dilandasi kreativitasi tidak menghasilkan sesuatu yang baru bagi organisasi sekolah. Kreativitas umumnya akan terlihat pada proses kognitif seseorang, di mana pikiran dan ide-ide kreatifnya terlihat dalam proses, perilaku, produk dan lingkungan pembelajaran. Misalnya, strategi pembelajaran kreatif dengan memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungannya (contextual learning) atau penataan ruangan kelas yang memungkinkan peserta didik mendapatkan akses yang sama dengan guru atau sumber belajar lainnya atau pola administrasi kelas dengan pola komputerisasi.
Pada tataran implementasi, inovasi terbatas pada usaha sengaja (sadar) untuk memperoleh keuntungan atau hasil yang lebih baik dengan melakukan perubahan, di mana perubahan tersebut meliputi aspek ekonomis, pengembangan pribadi, kepuasan kerja, kohesi kelompok dan komunikasi organisasional (lembaga sekolah) yang lebih baik, maupun produktivitas, efisiensi, efektivitas dan profitabilitas kelembagaan. Inovasi tidak selalu berwujud perubahan radikal lembaga pendidikan namun dapat berupa perubahan kecil dan sederhana yang melibatkan berbagai komponen sekolah. Inovasi tidak harus didominasi perubahan dengan teknologi tinggi, namun sentuhan teknologi hanyalah merupakan salah satu faktor inovasi dalam mengelola sekolah. Contoh, dikenalkannya layanan pendidikan yang lebih menekankan pada faktor potensi/kemampuan anak dengan melakukan pembelajaran semi-individual (tidak selalu klasikal). Ilustrasi lain yang lebih canggih dapat dilakukan melalui pengenalan layanan pendukung komputer baru di sekolah. Inovasi bisa juga ditemukan dalam perubahan administratif sekolah dengan menerapkan model database baik untuk guru dan siswa maupun tenaga pendukung sekolah lainnya (tenaga administrasi). Inovasi dapat dikembangkan dalam upaya menerapkan strategi baru peningkatan sumber daya manusia, kebijakan sekolah atau pengenalan kerja tim guru pada bidang-bidang yang spesifik.
Dalam bahasa yang lebih eksplisit inovasi tidak selalu mengisyaratkan atau mengharuskan pembaharuan absolut. Perubahan dapat dipandang sebagai suatu inovasi apabila perubahan tersebut baru bagi seseorang, kelompok atau organisasi kelembagaan yang memperkenalkannya. Kerja tim atau manajemen partisipatif yang diperkenalkan dalam suatu lembaga pendidikan juga dianggap sebagai suatu inovasi jika baru dalam lembaga tersebut, terlepas dari apakah model kerja tim tersebut pernah disosialisasikan pada lembaga lain. Dengan demikian, proses inovasi tidak selalu menuntut hal-hal yang canggih. Persepsi demikian kadang-kadang justru menghambat proses inovasi, karena selalu takut melangkah untuk berinovasi.
Dalam proses implementasi kreativitas di sekolah, inovasi bisa bervariasi dari inovasi yang relatif ‘ringan’ hingga inovasi yang dapat merombak sistem kelembagaan sekolah yang dianggap sangat penting. Inovasi tidak harus setara dengan proses penemuan modul pembelajaran Quantum Learning misalnya. Inovasi adalah segala usaha yang menghasilkan produk, proses, prosedur yang lebih baik, atau cara baru dan lebih baik dalam mengerjakan berbagai hal, yang diperkenalkan oleh individu, kelompok atau institusi sekolah. Beberapa inovasi bisa diperkenalkan dalam waktu yang singkat (misalnya, memutuskan untuk menerapkan model Classroom Management yang baru dengan mengubah posisi duduk siswa dan guru), sementara bentuk inovasi lainnya mungkin memerlukan waktu yang cukup lama, sebagaimana diterapkan dalam pendidikan dewasa ini dengan istilah Community Based Education (Depdiknas, 2002).

Hakikat Kewirausahaan
Kewirausahaan merujuk pada sifat, watak dan ciri-ciri yang melekat pada individu yang memiliki kemauan keras untuk mewujudkan dan mengembangkan gagasan kreatif dan inovatif yang dimiliki ke dalam kegiatan yang bernilai. Jiwa dan sikap kewirausahaan tidak hanya dimiliki oleh usahawan, melainkan juga pada setiap orang yang berpikir kreatif dan bertindak inovatif. Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari dan memanfaatkan peluang menuju sukses. Inti kewirausahaan menurut Drucker (1959) yang dikutip oleh Alma (2006) adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda melalui pemikiran kreatif dan tindakan inovatif demi terciptanya peluang.
Jiwa, sikap dan perilaku kewirausahaan memiliki lima ciri yakni: 1) penuh percaya diri, dengan indikator penuh keyakinan, optimis, disiplin, berkomitmen dan bertanggung jawab; 2) memiliki inisiatif, dengan indikator penuh energi, cekatan dalam bertindak dan aktif; 3) memiliki motif berprestasi dengan indikator berorientasi pada hasil dan berwawasan ke depan; 4) memiliki jiwa kepemimpinan dengan indikator berani tampil beda, dapat dipercaya dan tangguh dalam bertindak; dan 5) berani mengambil risiko dengan penuh perhitungan.
Aksioma yang mendasari proses kewirausahaan adalah adanya tantangan dalam berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk menghasilkan nilai tambah dari apa yang diusahakan. Ide kreatif dan inovatif wirausaha tidak sedikit yang diawali dengan proses imitasi dan duplikasi, kemudian berkembang menjadi proses pengembangan dan berujung pada proses penciptaan sesuatu yang baru, berbeda dan bermakna. Tahap penciptaan sesuatu yang baru, berbeda dan bermakna inilah yang disebut tahap kewirausahaan.
Wirausaha adalah seorang pembuat keputusan yang membantu terbentuknya sistem kegiatan suatu lembaga yang bebas dari keterikatan lembaga lain. Sebagian besar pendorong perubahan, inovasi dan kemajuan dinamika kegiatan di sekolah akan datang dari kepala sekolah yang memiliki jiwa wirausaha. Kepala sekolah tersebut adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mengambil risiko dan mempercepat pertumbuhan dan dinamika kegiatan di lembaganya. Sampai pada tataran tertentu keberhasilan seorang wirausaha tergantung pada kesediaan untuk bertanggung jawab atas pekerjaannya sendiri.
Seorang wirausaha ikhlas belajar banyak tentang diri sendiri jika bermaksud mencapai tujuan yang sesuai dengan apa yang diinginkan dalam kehidupannya. Kekuatan seorang wirausaha datang dari dirinya sendiri dan bukan dari tindakan orang lain. Meskipun risiko kegagalan selalu mengintip, wirausaha mengambil risiko dengan jalan menerima tanggung jawab atas tindakannya. Kegagalan diterima sebagai pengalaman yang terbaik dalam belajar. Beberapa wirausaha dapat mencapai tujuan yang diinginkan setelah mengalami rintangan dan kegagalan. Belajar dari pengalaman akan membantu wirausaha menyalurkan kegiatan untuk mencapai hasil yang lebih produktif dan positif, sehingga keberhasilan merupakan buah dari usaha yang tidak mengenal lelah.
Wirausaha adalah orang yang mempunyai tenaga dan keinginan untuk terlibat dalam petualangan inovatif. Wirausaha juga memiliki kemauan menerima tanggung jawab pribadi dalam mewujudkan keinginan yang dipilih. Menurut McClelland, terdapat sembilan ciri wirausahawan, yaitu: 1) keinginan untuk berprestasi, 2) bertanggung jawab, 3) preferensi kepada risiko menengah, 4) persepsi pada kemungkinan berhasil, 5) rangsangan oleh umpan balik, 6) enerjik dalam beraktivitas, 7) berorientasi ke masa depan, 8) terampil dalam pengorganisasian, dan 9) sikap positif terhadap uang (dalam Depdiknas, 2002).
Seorang wirausaha memiliki daya inovasi yang tinggi, di mana dalam proses inovasinya menunjukkan cara-cara baru yang berbeda, lebih baik dan bermanfaat dalam mengerjakan pekerjaan. Dalam kaitannya dengan tugas kepala sekolah, kebanyakan di antaranya tidak menyadari keragaman dan keluasan bidang yang menentukan tindakannya untuk memajukan sekolah. Mencapai kesempurnaan dalam melakukan rencana merupakan sesuatu yang ideal dalam mengejar tujuan, tetapi bukan merupakan sasaran yang realistik bagi kebanyakan kepala sekolah yang berjiwa wirausaha. Bagi kepala sekolah yang realistik, hasil yang dapat diterima lebih penting daripada hasil yang sempurna. Setiap orang termasuk kepala sekolah yang kreatif dan inovatif adalah individu yang unik dan spesifik.
Pada umumnya, setiap orang termasuk kepala sekolah memiliki pengalaman masa lampau yang bervariasi. Pengalaman dan pengetahuan masa lampau kepala sekolah yang memiliki jiwa wirausaha biasanya unik dan kadang-kadang tidak dimiliki orang lain. Namun, kebanyakan kepala sekolah yang berjiwa wirausaha juga memiliki kemauan untuk meniru dan mengkiblat pada keberhasilan kepala sekolah lain yang lebih berhasil mengelola sekolah. Model meniru dan mengikuti peran kepala sekolah lain yang berhasil mengembangkan sekolah dengan prinsip kewirausahaan menghasilkan sosok wirausaha yang memiliki keterampilan mengelola sekolah.
Kepala sekolah yang memiliki jiwa wirausaha pada umumnya mempunyai tujuan dan pengharapan tertentu yang dijabarkan ke dalam visi, misi, tujuan dan rencana strategis yang realistik. Realistik berarti tujuannya disesuaikan dengan sumber daya pendukung yang dimiliki. Semakin jelas tujuan yang ditetapkan semakin besar peluang untuk dapat meraihnya. Dengan demikian, kepala sekolah yang berjiwa wirausaha harus memiliki tujuan yang jelas dan terukur dalam mengembangkan sekolah. Untuk mengetahui apakah tujuan tersebut dapat dicapai maka visi, misi, tujuan dan sasarannya dikembangkan ke dalam indikator yang lebih terinci dan terukur untuk masing-masing aspek atau dimensi. Dari indikator tersebut juga dapat dikembangkan menjadi program dan subprogram yang lebih memudahkan implementasinya dalam pengembangan sekolah.

Fungsi Kreativitas, Inovatif & Jiwa Kewirausahaan dalam Organisasi
Kreativitas, inovasi dan jiwa kewirausahaan sangat penting dimiliki karena merupakan kemampuan yang sangat berguna dalam proses kehidupan manusia. Makna dan posisi kreativitas dan inovasi dinyatakan oleh Treffinger (1986) bahwa tidak ada seorang pun yang tidak memiliki kreativitas. Sementara itu, Timpe (2000: 59) menjelaskan bahwa setiap individu kreatif dengan cara-cara dan derajat yang berbeda. Dengan demikian, setiap orang memiliki dasar kreativitas dan inovasi pada dirinya. Masalahnya adalah bagaimana cara potensi kreativitas dan inovasi tersebut dikembangkan dan diimplementasikan dalam kegiatan riil sesuai dengan wawasan kewirausahaan dalam organisasi, khususnya di sekolah.
Suatu karya kreatif dan inovatif sebagai hasil kreasi kepala sekolah dapat mendorong potensi kerja dan kepuasan pribadi yang tak terhingga besarnya. Dengan terobosan kreatif kepala sekolah dapat mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki untuk mengubah tantangan menjadi peluang dan untuk memajukan sekolah. Hal ini menunjukkan terjadinya perwujudan diri sepenuhnya yang merupakan salah satu esensi dalam kehidupan manusia (Munandar, 1992). Menurut Maslow (1968) yang dikutip Depdiknas (2002), dalam perwujudan diri manusia kreativitas dan inovasi merupakan manifestasi dari individu yang memiliki fungsi penuh. Di sini terlihat bahwa potensi kreativitas dan inovasi penting untuk mengembangkan prestasi kerja, termasuk prestasi kerja kepala sekolah bersama warga sekolah.
Pada masa sekarang di mana otonomi daerah tengah digalakkan, konsekuensi logis pergeseran kebijakan tersebut adalah perlunya dipersiapkan tenaga handal dalam mengelola sistem pemerintahan, termasuk sistem ketenagaan di sektor pendidikan. Disadari bahwa pola rekruitmen tenaga kependidikan di daerah masih sangat lemah dan satu di antaranya adalah kompetensi kepala sekolah. Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan fungsi kreativitas, inovasi dan kewirausahaan dalam organisasi pendidikan (calon) kepala sekolah menjadi salah satu kajian pokok dalam peningkatan aspek tersebut. Kewirausahaan berbasis kreativitas dan inovasi juga penting dipahami oleh para guru dalam tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik dan pengajar yang membimbing dan mengantar anak didik ke arah pertumbuhan dan perkembangan prestasinya secara optimal. Di sisi lain, kepala sekolah karena kelemahan rekuritmen kadang-kadang tidak memiliki kemampuan tersebut. Padahal, kedudukan kepala sekolah menjadi sangat sentral dan penting dalam mengoptimalkan fungsi kreativitas, inovasi dan wawasan kewirausahaan di lembaga pendidikan yang dipimpinnya.
Selain makna kreativitas, inovatif dan wawasan kewirausahaan perlu pula dipelajari kepentingannya dalam kehidupan di masyarakat dan di tempat kerja. Kreativitas yang merupakan pangkal dari langkah inovatif mempunyai nilai penting dalam kehidupan individu dan organisasi. Semiawan (1997) menguraikan konsep Treffinger (1986) bahwa ada empat alasan penting mengapa seseorang (termasuk kepala sekolah) perlu belajar menjadi lebih kreatif, yaitu: 1) belajar kreatif membantu seseorang (kepala sekolah) menjadi lebih berhasil guna dalam melakukan pekerjaan; 2) belajar kreatif menciptakan kemungkinan untuk memecahkan masalah yang tidak mampu diramalkan yang timbul di masa kini dan di masa depan; 3) belajar kreatif menimbulkan akibat yang besar dalam kehidupan seseorang, dapat mempengaruhi, bahkan dapat mengubah karir pribadi serta menunjang kesehatan jiwa dan badan seseorang; 4) belajar kreatif dapat menimbulkan kepuasan dan kesenangan yang besar. Secara lebih luas, belajar kreatif dapat menimbulkan ide, cara dan hasil yang baru, unik dan bermanfaat.
Dalam kaitannya dengan perwujudan fungsi kreativitas, inovasi dan wawasan kewirausahaan perlu ada komitmen yang tinggi dari para kepala sekolah dan guru dalam mengembangkan proses pembelajaran di sekolah. Bagi guru sebagai salah satu pilar pelaksanaan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS), perlu memiliki kemampuan dan kesanggupan menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif agar siswa terangsang untuk lebih ingin mengetahui materi pelajaran, senang bertanya dan berani mengajukan pendapat serta melakukan percobaan yang menuntut pengalaman baru. Hal ini penting dipahami dan dipraktekkan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar dengan harapan agar siswa mendapat kesempatan mengukir prestasi. Selanjutnya, yang lebih penting adalah peran kepala sekolah, yang juga merupakan salah satu pilar dari tiga pilar pelaksanaan MPMBS agar memiliki kepedulian yang lebih tinggi dari sisi manajemen sekolah.

Strategi Memperkenalkan Inovasi
Banyak cara yang dapat dipilih dalam mensosialisasikan konsep kreativitas dan inovasi, dari cara yang radikal sampai pada cara halus dan tersamar. Pada prinsipnya, apapun strategi yang diterapkan memiliki tujuan yang sama agar perubahan dan pembaruan terjadi dalam organisasi. West (2000) mengemukakan empat strategi memperkenalkan inovasi, yakni strategi pengaruh minoritas, strategi partisapatif, strategi eklektik dan strategi pemaksaan kekuasaan (Depdiknas, 2002). Tiga strategi yang erat kaitannya dengan pengembangan kreativitas dan inovasi dalam konteks pendidikan diuraikan berikut ini.
Strategi Partisipatif, ini cocok dikembangkan apabila kebutuhan akan inovasi dirasakan oleh personil kelembagaan dan tersedia cukup waktu dan sumber daya untuk menggalakkan partisipasi khususnya bagi kelompok yang dianggap tidak terlibat langsung dalam proses inovasi. Sebagai ilustrasi pada konteks persekolahan, strategi partisipasi melibatkan tiga unsur, yakni 1) kepala sekolah, guru dan warga sekolah, 2) mensosialisasikan informasi kepada mereka, dan 3) melibatkan kepala sekolah, guru dan warga sekolah termasuk komite sekolah, orang tua siswa, pengusaha, penguasa dan masyarakat selaku pemangku kepentingan dalam pembuatan keputusan. Strategi partisipasi dapat diterapkan apabila basis untuk tim sudah ada di sekolah tersebut.
Strategi Ekletik, menurut Daft (1992) merupakan gabungan dari beberapa metode dalam mengimplementasikan inovasi. Pendekatan ini melibatkan tujuh teknik mengubah implementasi, yakni 1) diagnosis kebutuhan akan perubahan; 2) memenuhi ide-ide yang sesuai kebutuhan; 3) mendapatkan dukungan manajemen puncak; 4) merancang perubahan untuk implementasi bertahap; 5) mengembangkan rencana untuk mengatasi resistansi terhadap perubahan; 6) membentuk tim perubahan; dan 7) merangkul dan membina personil yang kaya ide.
Strategi Pemaksaan Kekuasaan, ini lazim digunakan untuk perubahan paradigma yang radikal dan tidak mungkin dilakukan dengan cara lain. Pemaksaan kekuasaan dilakukan jika kelompok organisasi memiliki kemampuan berpikir yang timpang antara kelompok pimpinan dengan kelompok yang dikenai inovasi. Di samping itu, pemaksaan kekuasaan diterapkan apabila tidak ada waktu yang cukup untuk menjalankan konsultasi, komunikasi atau partisipasi dalam menerapkan inovasi. Perlu diingat bahwa strategi pemaksaan hanya efektif digunakan oleh aktor yang memiliki kekuasaan dan pengaruh cukup besar dalam organisasi untuk mendesak implementasi inovasi. Konsekuensi penggunaan strategi pemaksaan kekuasaan adalah adanya kecenderungan memunculkan sikap permusuhan yang cukup besar di antara anggota organisasi. Pemaksaan kekuasaan merupakan satu-satunya cara untuk mewujudkan perubahan yang tidak popular. Contoh, perampingan kelembagaan akan sangat mungkin menimbulkan resistansi besar-besaran, bahkan proses konsultasi, komunikasi dan partisipasi tidak akan efektif. Program perubahan kultur juga seringkali menuntut pemaksaan kekuasaan untuk mengatasi resistansi terhadap perubahan dalam diri orang yang sudah begitu lama menggeluti “kultur lama.” Misalnya, kepala sekolah sering menentang pengenalan participative management atau participative leadership karena melihat bahwa kewenangan, kekuasaan dan kontrol manajemennya akan dipangkas.

Good Practice Semangat Kewirausahaan Sekolah
Berdasarkan trend selama ini dapat dikatakan bahwa di masa datang banyak sekolah swasta yang maju dan kualitasnya lebih baik dibanding sekolah negeri, bahkan di kota-kota besar fenomena tersebut sudah mulai terlihat. Sekolah negeri yang selama ini terlalu mengandalkan subsidi pemerintah lambat laun akan mulai ketinggalan apabila cara berpikirnya tidak segera diubah. Pada saat itu, jika sekolah negeri ingin maju harus dikelola secara profesional dan tidak hanya bergantung pada arahan kebijakan dan alokasi dana pemerintah melainkan juga harus mampu “mandiri” seperti sekolah swasta. Kepala sekolah harus memahami prinsip kewirausahaan untuk diaplikasikan dalam mengelola sekolah.
Kepala sekolah yang berjiwa wirausaha adalah orang yang memiliki sikap dan perilaku kreatif dan inovatif dalam memimpin dan mengelola organisasi sekolah dengan cara mencari dan menerapkan cara kerja dan teknologi baru yang bermanfaat bagi terwujudnya prinsip“good school governance” (pengelolaan sekolah yang baik). Adapun contoh bentuk kewirausahaan sekolah ada enam, yaitu 1) penggunaan sarana dan prasarana secara optimal untuk bisnis di lingkungan sekolah dengan dasar kebutuhan akan peningkatan kemampuan dan kebutuhan kehidupan bersama warga sekolah dan masyarakat; 2) membangun kerja sama dan kemitraan usaha dengan dunia usaha dan industri, masyarakat, pemerintah daerah dan lain-lain; 3) melakukan restrukturisasi organisasi sekolah dengan cara membentuk tim kerja untuk bisnis dan memilih tenaga yang profesional untuk mendukung pelaksanaan kewirausahaan; 4) mengadakan pelatihan kemampuan dan keterampilan tambahan yang sesuai dengan kemajuan ipteks dan imtak untuk meningkatkan kemampuan SDM sekolah; dan 5) mengembangkan usaha produktif dengan cara bekerja sama dengan lembaga penyandang dana, investor, kontraktor dan lain-lain yang bermanfaat bagi warga dan dapat mengembangkan modal serta keuntungan unit produksi atau koperasi secara berlipat ganda.
Contoh good practice kewirausahaan sekolah adalah simulasi Business Takesover Your Class yang diselenggarakan oleh Sekolah Bisnis Prasetya Mulya (kemampuan melipatgandakan modal), model bisnis sekolah dasar kota pada SD Negeri Banjarsari I di Kota Bandung (pola aktivitas bisnis yang menekankan produksi, dengan berorientasi pada pembelajaran bermutu untuk memupuk kepercayaan masyarakat), dan KPN SMPN 138 (unit usaha simpan pinjam, pengadaan alat sekolah, konsumsi dan kantin, jasa percetakan, tabungan anggota) (dikutip dari Sarbini, 1994).

Simpulan dan Saran
Simpulan
Pengembangan kreativitas dan inovasi sebagai basis kewirausahaan sekolah merupakan ikon baru bagi kepala sekolah bersama warga sekolah. Kewirausahaan sekolah dipahami sebagai kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari dan memanfaatkan peluang menuju sukses. Inti kewirausahaan sekolah adalah kemampuan kepala sekolah bersama warga sekolah untuk menciptakan sesuatu yang baru, unik, berbeda atau bermakna (bernilai) melalui pemikiran kreatif dan tindakan inovatif demi terciptanya peluang, ruang dan uang. Tiga dari empat strategi pengembangan kreativitas dan inovasi, selain strategi pengaruh minoritas relevan diterapkan di sekolah yakni strategi eklektif, strategi pemaksaan kekuasaan dan strategi partisipatif.

Saran
Agar kepala sekolah dapat meraih sukses menerapkan pola kewirausahaan di sekolah, kepala sekolah bersama guru dan tenaga kependidikan lainnya berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk menghasilkan nilai tambah dari apa yang diusahakan. Kepala sekolah perlu memberi pembelajaran kepada guru dan staf untuk memahami dan mengaktualisasikan semangat dan jiwa kewirausahaan sekolah dengan cara menyesuaikan dengan bidang tugasnya masing-masing. Kepala sekolah diharapkan mampu menyakinkan semua pihak bahwa sekolah adalah “lahan garapan bersama” dan maju mundurnya sekolah menjadi tanggung jawab bersama. Jika sekolah maju, maka kemajuan itu menjadi “milik bersama” artinya semua pihak mendapatkan manfaat dalam segala bentuknya. Manajemen partisipatif yang diterapkan di sekolah akan memberikan kepercayaan kepada guru dan staf sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Sekolah harus mampu mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki dan mengoptimalkan peran serta masyarakat sebagai salah satu pilar dalam pengembangan sekolah berbasis kewirausahaan.

Selasa, 07 April 2015

Posted by Unknown On 08.32
Pendahuluan

1. Pengertian


Kewirausahaan atau Wirausaha adalah proses mengidentifikasi, mengembangkan, dan membawa visi ke dalam kehidupan.Visi tersebut bisa berupa ide inovatif, peluang, cara yang lebih baik dalam menjalankan sesuatu.Hasil akhir dari proses tersebut adalah penciptaan usaha baru yang dibentuk pada kondisi risiko atau ketidakpastian.

2. Ciri-ciri dan Sifat kewirausahaan

Untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka setiap orang memerlukan ciri-ciri dan juga memiliki sifat-sifat dalam kewirausahaan.

Ciri-ciri seorang wirausaha adalah:


  1. Percaya diri
  2. Berorientasikan tugas dan hasil
  3. Berani mengambil risiko
  4. Kepemimpinan
  5. Keorisinilan
  6. Berorientasi ke masa depan
  7. Jujur dan tekun
Sifat-sifat seorang wirausaha adalah:
  1. Memiliki sifat keyakinan, kemandirian, individualitas, optimisme.
  2. Selalu berusaha untuk berprestasi, berorientasi pada laba, memiliki ketekunan dan ketabahan, memiliki tekad yang kuat, suka bekerja keras, energik dan memiliki inisiatif.
  3. Memiliki kemampuan mengambil risiko dan suka pada tantangan.
  4. Bertingkah laku sebagai pemimpin, dapat bergaul dengan orang lain dan suka terhadap saran dan kritik yang membangun.
  5. Memiliki inovasi dan kreativitas tinggi, fleksibel, serba bisa dan memiliki jaringan bisnis yang luas.
  6. Memiliki persepsi dan cara pandang yang berorientasi pada masa depan.
  7. Memiliki keyakinan bahwa hidup itu sama dengan kerja keras.
3. Tahap-tahap kewirausahaan
Secara umum tahap-tahap melakukan wirausaha adalah:
  • Tahap memulai
Tahap di mana seseorang yang berniat untuk melakukan usaha mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan, diawali dengan melihat peluang usaha baru yang mungkin apakah membuka usaha baru, melakukan akuisisi, atau melakukan ‘’franchising’’.Tahap ini juga memilih jenis usaha yang akan dilakukan apakah di bidang pertanian, industri, atau jasa.
  • Tahap melaksanakan usaha
Dalam tahap ini seorang wirausahawan mengelola berbagai aspek yang terkait dengan usahanya, mencakup aspek-aspek: pembiayaan, SDM, kepemilikan, organisasi, kepemimpinan yang meliputi bagaimana mengambil risiko dan mengambil keputusan, pemasaran, dan melakukan evaluasi.
  • Tahap mempertahankan usaha
Tahap di mana wirausahawan berdasarkan hasil yang telah dicapai melakukan analisis perkembangan yang dicapai untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
  • Tahap mengembangkan usaha
Tahap di mana jika hasil yang diperoleh tergolong positif atau mengalami perkembangan atau dapat bertahan maka perluasan usaha menjadi salah satu pilihan yang mungkin diambil.



Pembahasan

Dalam implementasinya, kewirausahaan berperan dalam segala bidang keilmuan. Semua bidang keilmuan memiliki sisi kewirausahaannya masing - masing. Bidang teknologi informasi pun juga memiliki hal tersebut. Berikut saya akan mengulas pendapat dan pemikiran saya tentang kewirausahaan pada bidang teknologi informasi.

Programmer, yak kata ini yang selalu melekat jika kita menyebut teknologi informasi. Yang ada dalam pikiran saya selama ini adalah seorang programmer itu 'hanya' membuat lalu menjual produk softwarenya. Begitu terus sampai tak ada yang membeli program buatannya. Tapi setelah 'terjerembab' dalam dunia kerja, saya bisa mendapat pemikiran lain. Yaitu tentang bagaimana cara untuk 'memaketkan' suatu produk. Saya mengambil contoh yang paling dekat saja. Di perusahaan tempat saya bekerja, mereka memasarkan software dengan dibalut tools/alat. Dalam hal ini mesin absensi sidik jari. Dalam pemasarannya, mesin ini sudah 'dibundle' dengan software untuk mengolah datanya menjadi sebuah laporan bulanan, yang didesign untuk mempermudah HRD dalam merekap kehadiran pegawainya.

Dengan cara seperti itu, penjualan software maupun mesin absensi ini mendapat nilai plus dibanding pesain - pesaing lain. Memang, dengan memaketkan produk seperti itu harga software tidak begitu tinggi. Tetapi daya belinya menjadi meningkat seiring semakin tingginya ketertarikan konsumen. Istilahnya beli 1 dapat 2.

Hal tersebut hanya sebagian contoh cara memasarkan produk / software bagi programmer. Masih banyak lagi cara - cara yang lain yang kemungkinan bisa lebih baik dari cara diatas.